Author: Karin Asuka
Cast:
Kim Myung Soo
Son Na Eun
Park Jiyeon/Son Ji yeon
Genre: Sad.
Type: One Shot
Rating: PG15
Disclaimer: semua cast akan kembali ke Tuhan YME. LOLs. Jiyeon ganti marga di sini. kekekeke
FF ini sebenernya uda pernah aku posting, tapi bukan pake cast yang sekarang. Nah ini diganti cast doang. hohoho. Iseng sih bikinnya, di tengah kegalauan bikin laporan heat exchanger. -__-. enjoy
~oOo~
“Na..Naeun ah apa yang kau lakukan?”
tanyanya dengan suara bergetar. Kakinya gemetar, dia semakin mundur dan menjauh
dariku sampai punggungnya menyentuh dinding kamarnya. Cih, baru sekarang kau
takut padaku. Aku tersenyum mengejek.
“Unnie, kenapa kau menjauh begitu,
ini aku. Naeun, adikmu” kataku dengan tenang padanya.
“Pergi kau!! Jangan mendekat! Kau
bukan adikku!” barang-barang di kamarnya melayang ke arahku, dia melemparnya
dengan murka.
Jam beker yang dilemparnya mengenai
dahiku, membuatku mundur sedikit. Kepalaku mendadak pusing, tapi aku berusaha
fokus. Sakit ini tidak seberapa. Ya, tidak seberapa jika dibandingkan dengan
sakit yang aku rasakan selama ini. Sakit yang aku rasakan karena orang ini,
kakakku sendiri. Aku benci, sangat membencinya. Benci, dan aku ingin
membunuhnya dengan tanganku.
“Unnie, aku akan mengakhiri ini
semua, cukup sampai disini saja kau bisa menyakitiku” Aku semakin mempererat
peganganku pada pisau di tanganku. Dengan sekali gerakan, aku menusuknya, dan
darah segera mengucur dari perutnya. Dia menatapku dengan matanya yang bulat.
Tatapan itu, sampai mendekati ajal pun dia tetap menatapku seperti itu. Aku
benci ditatap seperti itu, aku tidak butuh tatapan yang dibuat-buat seperti
itu.
“Na..Naeun…” Aku tidak mempedulikan
kata-katanya. Unnie, semoga kau bisa istirahat dengan tenang di sana, jangan
khawatir karena aku tidak akan mendendam padamu. Aku sudah cukup dengan
melenyapkanmu sehingga kau tidak bisa menyakitiku lagi. Aku tidak ingin
merasakan sakit itu lagi. Cukup sampai disini saja.
Flashback
“Unnie, lihat aku membeli dasi ini
untuk Appa, bagus tidak?” kataku dengan riang
“Hmm, lumayan, sini unnie yang akan
memberikannya pada Appa” ujarnya sambil tersenyum
“Ne” jawabku riang sambil menyerahkan
dasi itu padanya
Aku pikir dia akan menyerahkannya
pada Appa dan mengatakan kalau hadiah itu dariku, tapi apa yang terjadi malah
sebaliknya.
“Waah, terima kasih Jiyeon ah,
bagaimana kau tahu appa ingin membeli dasi ini? Kau memang anak ayah!” kata appa
sambil mengelus rambut Jiyeon unnie. Aku terkejut, kenapa? Padahal hadiah itu
dariku, kenapa unnie yang menerima ucapan terimakasihnya.
“Naeun ah, kau tidak membawa hadiah
untuk ayah? Lihat, dasi ini diberikan Jiyeon, bagus tidak? Kata appa sambil
memamerkan dasi itu. Aku hanya diam mematung, bingung dengan keadaan ini.
“Naeun ah, kau tidak memberi ucapan
selamat ke ayahmu? Lihat, Jiyeon saja membelikan hadiah.” Kata ibuku.
Aku hanya diam, kenapa Kakak
berbohong padaku? Pada ayah juga? Kenapa?
Saat
itu aku belum mengerti. Ya, belum mengerti tentang kebusukan hatinya. Namun
ketika aku sadar, sudah sangat terlambat. Ayahku meninggal, kini hanya ada Jiyeon
unnie dan ibu tiriku yang sama sekali tidak menyayangiku. Mereka semua manusia
dengan topeng, dan setelah Ayah meninggal, topeng-topeng itu hancur, hingga
terkuaklah wajah busuk mereka.
Hari-hariku
sangat menyedihkan, perlakuan ibu tiri dan Jiyeon benar-benar keterlaluan,
mereka tidak menyiksaku secara fisik, tetapi psikisku yang mereka siksa, mereka
merebut semua dariku, ayah, teman, semuanya. Ketika aku sudah tidak tahan lagi,
aku benar-benar ingin mati, tetapi karena dia aku mengurungkan niatku. Dia,
lelaki yang perlahan membuatku menemukan alasan untuk hidup lagi. Dia, Kim
Myungsoo.
“Sedang apa?” suara seorang pria
mengagetkanku yang sedang berdiri di tepi sungai.
“Bukan urusanmu” kataku singkat
“Jangan melompat kesana, airnya
dingin sekali, kau bisa langsung mati kalau terjun kesana” katanya pelan
“Aku memang ingin mati” kataku lagi
dengan dingin.
Aku merasakan tangannya yang hangat menarik
tanganku, membuatku menjauh dari sungai itu.
“Kau gila ya?!” katanya sambil
menatap mataku, ekspresinya serius sekali.
“Menurutmu?” tanyaku sambil
menatapnya
Wajahnya tampak bingung, tetapi
kemudian dia tersenyum. Nafasku tercekat, aku tidak mengerti pria ini, kenapa
dia malah tersenyum?
“Menurutku kau belum..eh tidak gila”
jawabnya sambil tersenyum. Aku semakin tidak mengerti.
“Kenapa kau tersenyum?” tanyaku
“ Eh? Apa perlu alasan untuk itu?
Katanya balik bertanya
Aku terdiam, selama ini aku tersenyum
hanya jika Jiyeon dan Ibu tiri menyuruhku, saat ada tamu yang datang ke rumah.
Mereka tidak ingin tamu-tamu mereka berpikir ada yang aneh dengan anak
perempuan keduanya.
“Lihat, langit birunya indah sekali”
katanya sambil menunjuk ke atas. Aku mengikuti arah tangannya. Mataku melebar
menatap langit biru itu, begitu indah dan..bebas. Sejenak aku merasa damai, aku
menutup mataku. Dan tanpa kusadari sudut-sudut bibirku terangkat. Eh? Benarkah
aku tersenyum?
“Nah, begitu lebih baik” katanya
sambil mengamati wajahku. Aku merasakan pipiku panas.
“Eh?”
“Kau terlihat lebih cantik kalau
tersenyum, boleh aku tahu namamu?” katanya lagi sambil tersenyum. Orang ini
benar-benar hobi tersenyum sepertinya.
“N..ne, Son Naeun.” Jawabku
“Naeun ya? Aku Myungsoo” katanya lagi,
senyuman tak lepas dari wajahnya.
Itulah
pertemuan kami yang akhirnya membuatku jatuh cinta padanya.
Aku
menyukainya, sangat menyukainya. Aku mengira kebahagianku akan segera datang,
aku mengira dia juga menyukaiku. Tetapi sepertinya aku salah besar.
“Naeun ah.” Katanya sambil berbaring
terlentang di rerumputan di tepi sungai.
“Ya?”
“Kau punya kakak perempuan?”
tanyanya. Aku terkesiap sejenak, aku tidak suka membicarakannya
“Ya.” Jawabku singkat
“Pasti dia sangat cantik, seperti…”
katanya. Aku benar-benar tidak ingin mendengar dia berbicara tentang kakakku.
“Dia memang sangat cantik, pintar,
dan ramah. Aku rasa oppa sekelas dengannya.” Jawabku tanpa ekspresi, aku ingin
sekali segera mengakhiri pembicaraan tentang kakakku ini.
“Ya, eh, apakah ada seseorang yang
kau sukai?” aku terkejut dengan arah pembicaraan yang tiba-tiba berubah.
“Kenapa Tanya begitu?” tanyaku sambil
mengamati wajahnya. Dia kemudian menatap ke arah sungai, aku tahu pikirannya
tidak disini bersamaku. Matanya menerawang jauh.
“Sepertinya aku menyukai seseorang.”
Katanya menatapku. Aku mengalihkan pandanganku, perasaanku tidak enak.
Jangan-jangan dia menyukai kakakku.
“Naeun ah, apa kau pernah menyukai
seseorang? “Tanyanya sambil mengamati ekspresiku
Aku terdiam, berbagai pikiran
terlintas di benakku, tapi yang paling dominan adalah pikiran bahwa Myungsoo oppa
menyukai kakakku. Tidak, jeritku dalam hati. Itu tidak boleh terjadi, aku tidak
mau, jangan rebut orang yang aku sayang dariku lagi.
“Naeun ah, kau belum menjawab
pertanyaannku” katanya, masih dengan senyum khas yang aku sukai
“ tidak, aku tidak pernah merasa
seperti itu, aku.. tidak tahu” jawabku singkat. Aku merasa ekspresi Myungsoo oppa
berubah kecewa. Kecewa karena aku tidak bisa meladeninya mengobrol tentang itu.
Maaf, karena aku tidak mau melanjutkannya lebih jauh lagi, aku takut mengetahui
kenyataan bahwa kau menyukai kakakku.
Sebesar
apapun aku mengelak dari kenyataan, kenyataan itu malah semakin cepat
mengejarku. Ya, Myungsoo oppa memang menyukai kakakku. Mereka selalu bersama,
dan aku ditinggalkan begitu saja. Aku benci. Benci semuanya. Aku ingin
mengakhiri ini semua. Kalau saja hari itu, Jiyeon unnie tidak menunjukkan sepatu
dan cincin yang diperolehnya dari Myungsoo oppa kepadaku, kalau saja aku tidak
tahu bahwa mereka akan bertunangan. Aku tidak akan melakukan semua ini, paling
tidak sekarang Jiyeon unnie masih aku ampuni nyawanya. Tetapi kenyataannya
tidak.
“Naeun ah, lihat lihat” panggilnya
saat aku lewat di depan kamarnya. Aku menoleh tanpa minat.
“Lihat sepatu ini, persis sepatu
Cinderella kan? Indah sekali kan, oh ya, lihat juga cincin ini permata putihnya
berkilauan!” serunya
Aku terkejut melihat sepatu itu. Itu
sepatu yang dibicarakan oleh Myungsoo oppa. Sepatu yang ia ingin berikan pada
orang yang dicintai dan dinikahinya. Aku segera menepis pikiranku tentang itu.
Tidak mungkin ini sepatu yang diberikan oleh Myungsoo oppa, tidak mungkin.
“Un..Unnie, apakah itu dari Myungsoo
oppa?” aku memberanikan diri bertanya.
“Oh, iya tadi dia mengantarkannya ke
sini” jawabnya sumringah sambil terus mengagumi sepatu itu
Hatiku mencelos. Benar, mimpi buruk sudah
datang. Myungsoo oppa akan melamar dan menikahi kakakku. Seberapa besar aku
menolak fakta itu, fakta itu akan datang menghantuiku. Dan benar, 2 hari
kemudian Myungsoo datang. Dia ingin menemuiku. Tentu saja, tidak lain ingin
meminta ijinku menikahi kakakku. Aku tidak mau bertemu dengannya.
“Naeun ah” katanya di balik pintu
kamarku. Aku pura-pura tidur dan tidak mendengarnya.
“Naeun ah, ada yang ingin aku
bicarakan” katanya lagi, aku tetap pura-pura tidur dan tidak menjawab.
“Baiklah kalau begitu, aku akan
datang lagi besok, kuharap kau mau menemuiku”katanya lagi.
Maaf, selamanya aku tidak mau
menemuimu lagi oppa.
Setiap hari, dia datang ke rumahku,
tetapi aku selalu bersembunyi di kamar sehingga tidak bertemu dengannya.
Hingga, tibalah hari itu, aku tidak sengaja mendengar ibu tiriku berkata di
telepon.
“Myungsoo ah, tidak usah khawatir,
persiapannya akan ibu handle semua” ibuku berkata sambil senyum-senyum
“Tenanglah, semua akan beres, kau
tinggal datang di acara pertunangannya saja. Masalah dekorasi biar kita juga
yang mengatasi..” suara ibu terdengar samar-samar, tapi jelas sekali di
telingaku.
Pertunangan. Ya, pertunangan, aku
tidak salah dengar. Dan ini bukan mimpi. Myungsoo oppa benar-bnar akan menikah
dengan kakakku.
Seberapa
besar persiapanku untuk menghadapi hari dimana aku mengetahui kenyataan, aku
tetap saja tidak siap. Hatiku tetap remuk, hancur menjadi serpihan.
Perlahan,
sakit hati itu menjadi benci, benci, benci yang terus menumpuk menjadi dendam.
Hingga menjadi seperti ini.
Flashback
end
Aku tersadar dari lamunanku yang
panjang. Sekarang aku memandang tubuh Jiyeon unnie yang berlumuran darah. Dia
sudah mati. Tetapi kenapa aku tidak sesenang yang aku duga? Kenapa aku tidak
merasa senang walaupun sumber kesakitanku telah mati? Aku meremas dada kiriku.
Merasakan apa yang aneh dalam diriku. Tidak ada. Tidak ada yang aneh. Yang aneh
hanyalah kakak tiri dan ibu tiriku itu. Mereka yang aneh, mereka yang kejam.
Perlahan aku melangkah keluar dari
kamar kakakku, aku merasa hampa. Benar benar hampa. Aku berjalan terhuyung,
tidak sengaja kakiku menyenggol kotak dengan pita pink di atasnya. Aku buka
isinya. Mataku menangkap sosok sepatu kaca itu, sepatu indah yang Myungsoo oppa
bilang akan ia berikan pada gadis yang dicintainya. Aku terkekeh pelan.
Sekarang orang itu sudah mati, sepatu ini sudah tidak bertuan. Perlahan aku
ambil sepatu itu, sepatu yang bening itu kotor karena darah yang ada
ditanganku. Aku ingin membuangnya, membuangnya jauh bersama tuannya yang telah
mati. Aku melangkah keluar kamar itu lagi.
“Naeun ah” seseorang memanggilku, aku
menoleh. Mataku melebar melihat sosok yang memanggilku tadi. Myungsoo oppa. Aku
tidak bisa memungkiri perasaanku yang bahagia melihatnya.
“Apa yang kau lakukan!!” serunya
melihatku keluar dengan tangan berlumuran darah. Sekejap kemudian aku sadar,
dia kesini bukan untuk menemuiku. Dia hanya mengkhawatirkan kakakku. Kenyatan
itu membuat hatiku berdenyut nyeri lagi.
“Jiyeon unnie sudah mati” kataku
pelan tanpa ekspresi.
“Apa?!!” serunya kaget dan langsung
berlari menuju kamar kakakku. Aku melihatnya mengguncang-guncang tubuh kakakku
yang aku tahu itu sia-sia karena dia sudah mati. Aku lihat dia menangis, ya
memang sepantasnya dia menangis. Gadis yang dicintainya sudah mati.
Aku melihatnya berjalan ke arahku
dengan mata masih basah oleh air mata. Matanya menangkap tangan kananku yang
masih memegang pisau dan tangan kiriku yang menenteng sepatu kakakku. Aku tau,
sebentar lagi dia akan mengataiku gila, melaporkanku ke polisi, atau mungkin
dia akan langsung membunuhku yang telah merenggut nyawa gadisnya itu.
“Aku yang membunuhnya” kataku pelan,
singkat, dan datar tanpa ekspresi. Aku menatap lurus ke matanya, mengamati
ekspresinya.
Dia terkesiap, dan terlihat bingung.
“Kenapa?” tanyanya dengan tenang. Aku
tidak mengira akan mendapat pertanyaan seperti itu
“Karena dia terus menyakitiku,
merebut orang-orang yang aku cintai, termasuk kau, aku membencinya! Sangat! aku
ingin mati, tapi kau melarangku, aku ingin membunuhnya tetapi aku tidak ingin
menyakitimu juga, tetapi sekarang aku benar-benar sudah tidak tahan. Aku…
aku…membencimu juga!! Benci!! Kau juga menyakitiku, memberiku harapan palsu,
membuatku merasakan cinta yang benar-benar membuatku tersiksa, seharusnya kau
membiarkanku mati saja dulu di sungai itu!” Teriakku histeris. Aku sudah tidak
peduli lagi, toh sebentar lagi entah Myungsoo oppa akan membunuhku atau
menjebloskanku ke penjara itu sama mengerikannya. Air mataku tumpah lagi,
sesak, mati matian aku mengendalikan diriku tetapi tidak bisa.
Tiba-tiba Myungsoo menarikku ke dalam
pelukannya. Aku terkesiap, dia memelukku erat sekali. Hangat, dan menentramkan.
“Maaf” katanya sambil memelukku erat,
aku bisa mendengar dia terisak.
“Maaf, aku tidak tahu telah
menyakitimu sedalam itu. Kalau saja… aku dari dulu mengatakan ini..kau tidak
akan seperti ini.”katanya sambil melepas pelukannya, dia menatapku dengan
matanya yang basah., tatapan itu berbeda saat menatap kakakku. Lebih dalam.
“Aku mencintaimu Naeun ah” katanya
Aku tidak bisa mempercayai
pendengaranku. Ini pasti mimpi.
Dia memegang tanganku, mengambil
pisauku.
“selamat tinggal” tiba-tiba Myungsoo
oppa menusukkan pisauku ke perutnya.
Aku shock. Kenapa? Apa yang terjadi?
“Oppa!!!” seruku histeris.
Dia terjatuh, dengan berlumuran
darah.
“Oppa ap..apa yang kau lakukan?”
tanyaku dengan bingung
“Naeun ah…sepatu itu…. Mi..milikmu…”
katanya dengan lemah sambil menunjuk sepatu kaca yang kini berlumuran darah
itu.
Aku terdiam, hanya air mata yang keluar,
bulir demi bulir menetes membasahi wajah Myungsoo oppa yang masih berkata-kata
dengan lemah.
“Maaf, aku membuatmu menderita,
dengan begini, kau..tidak akan menderita lagi.. aku akan mati dan menghilang
bersama rasa sakitmu.” Katanya dengan pelan
Aku sesenggukan, pandanganku kabur
oleh air mata.
“tapi percayalah, aku mencintaimu,
dari dulu sampai sekarang, saranghae, Na..Naeun ah” katanya dengan pelan. Dan
akhirnya dia menutup matanya.
Aku tidak bisa mempercayainya.
Myungsoo oppa. Mati?
Tidak mungkin. Ini mustahil. Cukup
Jiyeon unnie saja yang mati. Kenapa? Kenapa Myungsoo oppa?
Kau mencintaku kan? Kenapa kau mati?
Kenapa kau meninggalkanku?
Aku terus menangis. Menangis. Dan
menangis.
Kenyataan ini memang mengerikan. Seberapa
besar aku berpikir kenyataan ini indah, tetapi kenyataannya mengerikan, gelap,
dingin, tanpa cahaya dan kebahagiaan. Itulah kenyataan ini bagiku.
Flashback
Myungsoo’s POV
Myungsoo’s POV
“Lihat lihat! Sepatu ini indah
sekali!” serunya riang sambil memandangi etalase toko sepatu yang tidak sengaja
kami lewati.
“Hm? Oh itu.. Cinderella shoes ya?”
tanyaku
“Huh? Cinderella shoes? Benar-benar
dari kaca?” tanyanya lagi dengan polosnya
Aku terkekeh pelan
“Ya! Sepatu bukan barang pecah belah,
Naeun ah” kataku sambil mengacak rambutnya. Gadis ini menggemaskan sekali
sekarang, berbeda saat aku bertemu dengannya pertama kali dulu. Dia kelihatan
lebih hidup dan bahagia. Atau, aku yang melihatnya berbeda? Tidak. Tidak. Tidak
mngkin. Apakah mingkin aku mulai menyukainya?
Aku mengamati wajahnya yang masih memandang
sepatu kaca itu, matanya berbinar-binar.
“Aku akan memberikannya pada orang
yang aku cintai kelak” kataku
“Benarkah? Beruntung sekali dia”
katanya sambil tersenyum
“Tentu saja! Selain sepatu, aku akan
memberi cincin juga” kataku lagi dengan tersenyum.
“Waaaaah” serunya dengan mata
berbinar-binar lagi.
Mungkin,
itu saat aku mulai menyukainya. Gadis yang sedang tertawa-tawa itu, ternyata
menyimpan rasa sakit yang aku pun tidak bisa membayangkannya. Aku sangat ingin
menghapus sakit itu tetapi tidak tahu bagaimana caranya dan apa yang
menyebabkannya.
Saat
itulah aku tahu ada seseorang yang dapat memberiku petunjuk, dia adalah sumber
rasa sakit itu, Son Jiyeon, kakaknya.
“Myungsoo sshi” katanya memanggil
namaku saat bertemu di kampus. Aku sekelas dengannya.
“Ya?” jawabku sambil menoleh ke
arahnya
“Bisa kita bicara sebentar?” katanya
sambil menunjuk ke luar jendela.
“Baiklah” kataku santai.
Setelah di sampai di luar kelas, aku
tidak bisa menahan diri untuk bertanya.
“Apa yang ingin kau bicarakan?”
“Tentang adikku, Son Naeun.” Katanya.
Aku terkesiap, aku tidak tahu kalau
Jiyeon ternyata adalah kakak Naeun.
“Naeun? Kau kakaknya?” tanyaku masih
tidak percaya
“Ne kakak tiri lebih tepatnya,
mungkin aku tidak pantas mengakuinya sebagai adikku, aku selalu membuatnya
menderita.” Katanya dengan pelan, aku semakin tidak mengerti hubungan kakak
beradik mereka.
“Apa maksudmu?” tanyaku
“Aku selalu menyiksanya, dari kecil
aku selalu membuatnya menangis, karena aku merasa hal itu lucu. Kejam kan? Aku
tidak tahu bagaimana, tetapi sepertinya itu menjadi kebiasaan, aku tidak ingin
melakukannya, tapi tanpa aku sadari aku telah membuatnya menderita lagi dan
lagi. Aku ingin menghilangkan kebiasaan itu, tetapi tidak tahu bagaimana
memulainya.” Katanya panjang lebar
Aku semakin tidak mengerti. Apakah
menyakiti orang lain bisa menjadi kebiasaan? Kalau benar, kejam sekali. Aku
tiba-tiba merasa kesal dan marah pada orang di depanku ini. Sumber rasa sakit
Naeun. Dia orang yang telah membuatnya menderita, sampai ingin mati.
“Kau tahu.. Naeun pernah berpikir
untuk bunuh diri” kataku pelan.
Dia kelihatan terkejut, lalu wajahnya
tampak murung.
“Benarkah?” dia masih tidak percaya
“Terserah kalau tidak percaya”
jawabku dingin
Dia terkekeh pelan, wajahnya tetap
tampak murung.
“Kalau begitu aku memang sangat
kejam” katanya singkat
“Kau mau seterusnya seperti itu? Aku…
aku tidak bisa membiarkan kau menyakiti Naeun terus menerus.” Kataku dengan
tegas padanya
“Aku tidak ingin melakukannya, aku
tidak ingin lagi menyakitinya, seandainya aku tahu bagaimana cara
memperbaikinya.”
“Hati yang sudah tersakiti sulit
diobati.” Jawabku singkat. Dia menatapku lalu mengalihkan pandangannya ke
semak-semak di depan ku, ekspresinya sangat kecewa.
“Sudah kuduga, tidak mungkin ya”
katanya pelan
“tapi ada satu cara” dia menoleh
secepat kilat, menatapku ingin tahu.
“apa?” tanyanya
“berikan dia kebahagiaan” jawabku
singkat.
Jiyeon tampak berpikir. Mungkin,
tentang hal yang dapat membuat Naeun bahagia, sebenarnya aku belum tahu apa
yang membuat Naeun sangat bahagia, mungkin, kakaknya ini tahu sesuatu.
Tiba-tiba dia mengangkat tangannya
dan menunjuk ke arahku.
“Kau”
“Huh?” aku bingung apa maksudnya
“Kau, yang bisa membuatnya bahagia,
akan kuberikan kau padanya” jawabnya, matanya memancarkan kesungguhan
“Apa maksudmu?” aku masih bingung
dengan kata-katanya
“Dia menyukaimu” katanya singkat
Aku mulai mencerna kata-katanya, dan…
“Heeeh??? Be….benarkah?” tanyaku
heboh, sepertinya wajahku memerah
“Ya, ikuti rencanaku, kau harus mau”
katanya dengan tegas, membuatku yang masih salah tingkah ini semakin
kebingungan.
Aku mulai mengikuti semua rencana
Jiyeon, mulai dari menunjukkan keakraban kami pada Naeun, sampai akhirnya
rencana gilanya berujung pada pesta pertunangan kejutan yang disiapkannya untuk
Naun. Awalnya aku menolak ide gila itu, tetapi dia berhasil meyakinkanku
menyetujuinya. Pesta pertunangan itu memang terkesan seperti pertunanganku
dengan Jiyeon, setidaknya Naeun berpikir seperti itu. Tapi sebenarnya, pesta
itu, cincin dan Cinderella shoes serta semuanya disiapkan Jiyeon untuk Naeun,
agar Naeun bahagia dan merasa senang menjadi adik Jiyeon. Tetapi ternyata semua
itu berujung pada petaka. Membuat Jiyeon kehilangan nyawa di tangan adiknya
sendiri. Membuat Naeun menjadi pembunuh.
Semua
itu salahku, salahku kenapa tidak mengatakan semuanya lebih awal. Seandainya
aku mengatakan aku mencintaimu lebih dulu, kau tidak akan menderita seperti
itu. Semua ini tidak akan terjadi, kita bisa bersama, bahagia dan tertawa
menatap langit biru di tepi sungai itu, tempat kita bertemu, seperti saat kau
tersenyum padaku. Aku ingin menghapus rasa sakitmu, tetapi tanpa sadar aku
telah menambah kepedihan dan luka itu. Maaf, Naeun ah, aku sangat mencintaimu.
Love means No Pain
But this love only causes me pain
Is this really love?
I don’t know
It really hurts like
hell
-Son
Na Eun-
If only time machine
existed
I’ll ride it
I’ll change this sad
ending to happy ending
So I can erase your
pain
So I can erase your
tears
So I can embrace you
with my love
If only time machine
existed.
-Kim
Myungsoo-
~oOo~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar